Halaman

Jumat, 16 Maret 2012

Partisipasi Politik

Oleh : Juanda
Partisipasi Politik
a.      Sifat dan Definisi Partipasi Poltik
Apakah Partisipasi politik itu? Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain den gan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai  atau salah satu gerakan social dengan direct actionnya, dan sebagainya.
Beberapa para ahli memberikan pendapat tentang pengertian Partisipasi politik :
1.      Herbert McClosky, Partisipasi Politik kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak lansung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
2.      Samuel P. Hungtington dan Joan M. Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.
Dinegara-negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan.  Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh rakyat.
            Selain itu, para sarjana yang mengamati masyarakat demokrasi barat juga cenderung berpendapat bahwa yang dinamakan pertisipasi politik  hanya sebatas pada kegiatan sukarela saja, yaitu kegiatan yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun.
            Ada pula pendapat bahwa partisipasi politik hanya mencakup kegiatan positif. Akan tetapi Huntington dan Nelson menganggap bahwa kegiatan yang ada unsur  destruktifnya seperti demonstrasi, terror, pembunuhan politik, dan lain-lain, merupakan suatu bentuk partisipasi.
b.      Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik menunjukan pelbagai bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya. Orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri (seperti memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali jumlahnya. Sebaliknya, kecil sekali sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan.
Suatu bentuk partsipasi yang paling mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umuym, antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya (voter turnount) disbanding dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih
Di Amerika serikat voter turnount umumnya lebih rendah daripada dinegara-negara Eropa Barat. Di Amerika persentase itu pada tahun 1995 kurang dari 50%, sementara dinegara-negara Eropa pada umumnya lebih baik. Contohnya : Prancis dan Jerman. Pada pemilihan umum 1990 di Prancis angka partisipasinya mencapai 86%, sedangkan di Jerman pada pemilihan umum 1992 mencapai 90%. Di Inggris pada pemilihan umum 1992 juga cukup tinggi angka partisipasinya, yakni 77,7%. Di Belanda angka Partisipasi sama dengan Prancis, yakni 86%. Partisipasi di semua negara Barat tersebut menunjukan kenaikan disbanding pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an.
Beralih ke profil partisipasi, memperoleh data partisipasi di negara-negara berkembang ternyata tidak mudah, tambahan pula berbeda-beda satu sama lainnya. Di India misalnya, dalam pemilihan umum yang diaksanakan pada bulan November 1993, persentase yang member suara adalah kira-kira 50%. Persentase ini hanya berubah sedikit pada pemilihan umum selanjutnya. Pada tahun 1999 yang memberikan suara 57,7%, dan pada pemilihan umum 2004 persentase yang memberikan suaranya juga kurang dari 60%. Jumlah kursi diparlemen yang diperebutkan ada 545. Melihat jumlah pemilih, tepatlah jika  dikatakan bahwa India merupakan negara demokrasi yang terbesar di dunia.
Sedangkan di Singapura, persentase pemilih dalam pemilihan umum juga kira-kira 50%. Contoh lain adalah Malaysia. Pada pemilihan umum 1999 warga yang menggunakan haknya 69,5%. Di Indonesia persentase pemilih sangat tinggi, yaitu 90% ke atas. Dalam pemilihan umum pertama yang  diselenggarakan dalam suasana khidmat karena merupakan pemilihan umum pertama yang pernah diadakan, persentasenya adalah 91%, yaitu 39 juta dari total jumlah warga negara yang berhak memilih sejumlah 43 juta. Persentase partisipasi pada tahun 1992 dalam masa otoriter adalah 95% atau 102,3 juta yang memakai hak pilihnya. Di masa reformasi dalam pemilihan umum 1999, dan tahun 2004 partisipasi menurun. Penurunan ini disebabkan karena pemilu diadakan tergesa-gesa dan adanya perubahan sistem pemilihan umum. Partisipasi dalam pemilu legislative 2004 turun menjadi 84% dan untuk pemilu presiden putaran kedua turun menjadi 77,4%.
Akan tetapi, member suara dalam pemilihan umum bukan merupakan satu-satunya bentuk partisipasi. Angka hasil pemilihan umum hanya memberikan gambaran yang kasar mengenai partisipasi itu. Masih terdapat pelbagai bentuk partisipasi lain yang berjalan secara kontinu dan tidak terbatas pada masa pemilihan umum saja. Penelitian mengenai kegiatan ini menunjukan bahwa persentase partisipasi pemilihan umum sering kali berbeda dengan persentase partisipasi dalam kegiatan yang tidak menyangkut pemberian suara semata-mata.
Table 1
Voter Turnout diberbagai

No
Negara
Voter Turnout (%)
Tahun Pemilu
1
Australia
94,69
2004
2
Singapura
94
2006
3
Indonesia masa Orde Baru
95
1992
4
Jerman
90
1992
5
Indonesia masa Reformasi
84
2004
6
Norwegia
76,6
2005
7
Prancis
64,4 dan 60,7
2002
8
Thailand
70
2001
9
Malaysia
69,5
1999
10
Inggris
61,3
2005
11
Federasi Rusia
60,5
1999
12
Korea Selatan
60
2004
13
India
<60
2004
14
Amerika Serikat
55,3
2004
15
Polandia
53,4
1990 (Pilpres*)

Tabel 2
Karakteristik Sosial Para Pemilih di Amerika Serikat

Kategori
Partisipasi Lebih Tinggi
Partai Lebih Rendah
Pendapatan
Pendapatan tinggi
Pendapatan rendah
Pendidikan
Pendidikan Tinggi
Pendidikan rendah
Pekerjaan
Orang bisnis
Karyawan kantor
Pegawai pemerintah
Petani pedagang
(Commersial crop farmers)
Buruh tambang
Buruh kasar
Pembantu rumah tangga
Karyawan dinas-dinas pelayanan
Pepetani kecil

Ras
Kulit Putih
Kulit Hitam
Jenis Kelamin
Pria
Perempuan
Umur
Setengah baya (35-55),tua (55 ke atas)
Di bawah 35
Status
Menikah
Bujangan
Organisasi
Anggota organisasi
Orang yang hidup menyendiri

c.       Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di negara-negara otoriter seperti komunis pada masa lampau, partisipasi massa umumnya diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada ditangan rakyat. Akan tetapi tujuan utama partisipasi massa dalam masa pendek masyarakat adalah merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat. Hal ini memerlukan disiplin dan pengarahan ketat dari monopoli partai politik.
Terutama, persentase partisipasi yang tinggi dalam pemilihan umum di anggap dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Dalam pemilihan umum angka partisipasi hampir selalu mencapai lebih dari 99%.  Akan tetapi perlu di ingat bahwa sistem pemilihan umumnya berbeda dari sistem di negara demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon itu harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai Komunis.
Negara-negara otoriter yang sudah mapan menghadapi dilema bagaimana memperluaskan partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyakat yang didambakan. Jika control dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada bahaya bahwa akan timbul konflik yang menganggu stabilitas.
Hal ini terjadi di Uni Soviet pada tahun 1956 pada saat Krushchev melancarkan gerakan “Garis Baru” dalam rangka “Destalinisasi” kehidupan politik. Dua puluh tahun kemudian pada akhir tahun 80-an, keterbukaan yang dicanangkan oleh Gorbachev melalui glasnost (keterbukaan dalam rangka reformasi politik) dan perestroika (reformasi ekonomi) ternyata mengakibatkan pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara pada tahun 1991. Pada saat itu pula kebanyakan negara komunis di Eropa Timur lainnya, termasuk Uni Soviet, bergabung dengan negara-negara Barat dan Menerapkan model demokrasi.
Pengendoran juga terjadi di China pada thun 1956/1957. Pada awal dicetuskannya gerakan “Kampaye Seratus Bunga” masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Akan tetapi pengendoran control tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap menganggu stabilitas nasional. Setelah terjadi peristiwa Tiananmen Square pada tahun 1989 – ketika itu beberapa ratus mahasiswa kehilangan nyawa dalam benturan dengan aparat-pemerintah memperketat kontrol kembali.

 Sumber bacaan : Budiardjo, Miriam (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar