Oleh : Juanda
Partisipasi
Politik
a. Sifat
dan Definisi Partipasi Poltik
Apakah Partisipasi politik
itu? Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, antara lain den gan jalan memilih pimpinan negara dan,
secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy).
Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau
lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota
partai atau salah satu gerakan social
dengan direct actionnya, dan sebagainya.
Beberapa para ahli
memberikan pendapat tentang pengertian Partisipasi politik :
1.
Herbert
McClosky, Partisipasi Politik kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat
melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan
secara langsung atau tidak lansung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
2.
Samuel
P. Hungtington dan Joan M. Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga
yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau
kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.
Dinegara-negara demokrasi
konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada ditangan
rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan
tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang
yang akan memegang tampuk pimpinan.
Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan
kekuasaan politik yang abash oleh rakyat.
Selain
itu, para sarjana yang mengamati masyarakat demokrasi barat juga cenderung
berpendapat bahwa yang dinamakan pertisipasi politik hanya sebatas pada kegiatan sukarela saja,
yaitu kegiatan yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapa pun.
Ada
pula pendapat bahwa partisipasi politik hanya mencakup kegiatan positif. Akan
tetapi Huntington dan Nelson menganggap bahwa kegiatan yang ada unsur destruktifnya seperti demonstrasi, terror,
pembunuhan politik, dan lain-lain, merupakan suatu bentuk partisipasi.
b. Partisipasi
Politik di Negara Demokrasi
Kegiatan yang dapat dikategorikan
sebagai partisipasi politik menunjukan pelbagai bentuk dan intensitas. Biasanya
diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya. Orang
yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak
menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri (seperti
memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali jumlahnya. Sebaliknya,
kecil sekali sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan
diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain
menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan.
Suatu bentuk partsipasi yang
paling mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan
umuym, antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak
pilihnya (voter turnount) disbanding dengan jumlah seluruh warga negara yang
berhak memilih
Di Amerika serikat voter
turnount umumnya lebih rendah daripada dinegara-negara Eropa Barat. Di Amerika
persentase itu pada tahun 1995 kurang dari 50%, sementara dinegara-negara Eropa
pada umumnya lebih baik. Contohnya : Prancis dan Jerman. Pada pemilihan umum
1990 di Prancis angka partisipasinya mencapai 86%, sedangkan di Jerman pada
pemilihan umum 1992 mencapai 90%. Di Inggris pada pemilihan umum 1992 juga
cukup tinggi angka partisipasinya, yakni 77,7%. Di Belanda angka Partisipasi
sama dengan Prancis, yakni 86%. Partisipasi di semua negara Barat tersebut
menunjukan kenaikan disbanding pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an.
Beralih ke profil
partisipasi, memperoleh data partisipasi di negara-negara berkembang ternyata
tidak mudah, tambahan pula berbeda-beda satu sama lainnya. Di India misalnya,
dalam pemilihan umum yang diaksanakan pada bulan November 1993, persentase yang
member suara adalah kira-kira 50%. Persentase ini hanya berubah sedikit pada
pemilihan umum selanjutnya. Pada tahun 1999 yang memberikan suara 57,7%, dan
pada pemilihan umum 2004 persentase yang memberikan suaranya juga kurang dari
60%. Jumlah kursi diparlemen yang diperebutkan ada 545. Melihat jumlah pemilih,
tepatlah jika dikatakan bahwa India
merupakan negara demokrasi yang terbesar di dunia.
Sedangkan di Singapura,
persentase pemilih dalam pemilihan umum juga kira-kira 50%. Contoh lain adalah
Malaysia. Pada pemilihan umum 1999 warga yang menggunakan haknya 69,5%. Di
Indonesia persentase pemilih sangat tinggi, yaitu 90% ke atas. Dalam pemilihan
umum pertama yang diselenggarakan dalam
suasana khidmat karena merupakan pemilihan umum pertama yang pernah diadakan,
persentasenya adalah 91%, yaitu 39 juta dari total jumlah warga negara yang
berhak memilih sejumlah 43 juta. Persentase partisipasi pada tahun 1992 dalam
masa otoriter adalah 95% atau 102,3 juta yang memakai hak pilihnya. Di masa
reformasi dalam pemilihan umum 1999, dan tahun 2004 partisipasi menurun.
Penurunan ini disebabkan karena pemilu diadakan tergesa-gesa dan adanya
perubahan sistem pemilihan umum. Partisipasi dalam pemilu legislative 2004
turun menjadi 84% dan untuk pemilu presiden putaran kedua turun menjadi 77,4%.
Akan
tetapi, member suara dalam pemilihan umum bukan merupakan satu-satunya bentuk
partisipasi. Angka hasil pemilihan umum hanya memberikan gambaran yang kasar
mengenai partisipasi itu. Masih terdapat pelbagai bentuk partisipasi lain yang
berjalan secara kontinu dan tidak terbatas pada masa pemilihan umum saja.
Penelitian mengenai kegiatan ini menunjukan bahwa persentase partisipasi
pemilihan umum sering kali berbeda dengan persentase partisipasi dalam kegiatan
yang tidak menyangkut pemberian suara semata-mata.
Table 1
Voter Turnout
diberbagai
No
|
Negara
|
Voter Turnout (%)
|
Tahun Pemilu
|
1
|
Australia
|
94,69
|
2004
|
2
|
Singapura
|
94
|
2006
|
3
|
Indonesia masa Orde Baru
|
95
|
1992
|
4
|
Jerman
|
90
|
1992
|
5
|
Indonesia masa Reformasi
|
84
|
2004
|
6
|
Norwegia
|
76,6
|
2005
|
7
|
Prancis
|
64,4 dan 60,7
|
2002
|
8
|
Thailand
|
70
|
2001
|
9
|
Malaysia
|
69,5
|
1999
|
10
|
Inggris
|
61,3
|
2005
|
11
|
Federasi Rusia
|
60,5
|
1999
|
12
|
Korea Selatan
|
60
|
2004
|
13
|
India
|
<60
|
2004
|
14
|
Amerika Serikat
|
55,3
|
2004
|
15
|
Polandia
|
53,4
|
1990 (Pilpres*)
|
Tabel 2
Karakteristik Sosial Para Pemilih di Amerika Serikat
Kategori
|
Partisipasi Lebih Tinggi
|
Partai Lebih Rendah
|
Pendapatan
|
Pendapatan tinggi
|
Pendapatan rendah
|
Pendidikan
|
Pendidikan Tinggi
|
Pendidikan rendah
|
Pekerjaan
|
Orang bisnis
Karyawan kantor
Pegawai pemerintah
Petani pedagang
(Commersial crop farmers)
Buruh tambang
|
Buruh kasar
Pembantu rumah tangga
Karyawan dinas-dinas pelayanan
Pepetani kecil
|
Ras
|
Kulit Putih
|
Kulit Hitam
|
Jenis Kelamin
|
Pria
|
Perempuan
|
Umur
|
Setengah baya (35-55),tua (55 ke atas)
|
Di bawah 35
|
Status
|
Menikah
|
Bujangan
|
Organisasi
|
Anggota organisasi
|
Orang yang hidup menyendiri
|
c.
Partisipasi
Politik di Negara Otoriter
Di negara-negara otoriter
seperti komunis pada masa lampau, partisipasi massa umumnya diakui
kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada ditangan rakyat. Akan tetapi
tujuan utama partisipasi massa dalam masa pendek masyarakat adalah merombak
masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern, produktif, kuat, dan
berideologi kuat. Hal ini memerlukan disiplin dan pengarahan ketat dari
monopoli partai politik.
Terutama, persentase
partisipasi yang tinggi dalam pemilihan umum di anggap dapat memperkuat
keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan
agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Dalam pemilihan umum angka
partisipasi hampir selalu mencapai lebih dari 99%. Akan tetapi perlu di ingat bahwa sistem
pemilihan umumnya berbeda dari sistem di negara demokrasi, terutama karena
hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon itu
harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan
oleh partai Komunis.
Negara-negara otoriter yang
sudah mapan menghadapi dilema bagaimana memperluaskan partisipasi tanpa
kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyakat
yang didambakan. Jika control dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka
ada bahaya bahwa akan timbul konflik yang menganggu stabilitas.
Hal ini terjadi di Uni
Soviet pada tahun 1956 pada saat Krushchev melancarkan gerakan “Garis Baru”
dalam rangka “Destalinisasi” kehidupan politik. Dua puluh tahun kemudian pada
akhir tahun 80-an, keterbukaan yang dicanangkan oleh Gorbachev melalui glasnost (keterbukaan dalam rangka
reformasi politik) dan perestroika
(reformasi ekonomi) ternyata mengakibatkan pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa
negara pada tahun 1991. Pada saat itu pula kebanyakan negara komunis di Eropa
Timur lainnya, termasuk Uni Soviet, bergabung dengan negara-negara Barat dan
Menerapkan model demokrasi.
Pengendoran juga terjadi di
China pada thun 1956/1957. Pada awal dicetuskannya gerakan “Kampaye Seratus
Bunga” masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Akan tetapi
pengendoran control tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik
yang disuarakan dianggap menganggu stabilitas nasional. Setelah terjadi
peristiwa Tiananmen Square pada tahun 1989 – ketika itu beberapa ratus
mahasiswa kehilangan nyawa dalam benturan dengan aparat-pemerintah memperketat kontrol
kembali.
Sumber bacaan : Budiardjo, Miriam (2008). Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar