Bangsa-bangsa di
dunia ini memang diciptakan beraneka ragam. Mereka kadang kala tidak hanya
hidup tersebar di sejumlah tempat tetapi juga kadang hidup di suatu tempat yang
tak jarang menimbulkan masalah tersendiri jika diantara mereka tidak sadar akan
adanya multikultural di luar budaya yang ia anut sendiri.
Inklusivisme. Sikap inklusif ini, menurut Mulyadhi, sebenarnya telah dipraktekkan
oleh para adib, ilmuwan, filosof Muslim, Sufi dan Guru dalam proses belajar
mengajar. Para Adib ketika menyusun “adab” mempraktekkan inklusivisme ini.
Karena selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber yang paling
otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber lain dari kebudayaan
lain. Dalam puisi, misalnya, mereka menggunakan dan menghargai warisan
Jahiliyah sebagai tolok ukur bagi kualitas dan kesuksesan sebuah karya
puitis.Demikian juga ketika mereka mengambil pelajaran moral dari karakter
hewan-hewan, mereka tidak ragu menggunakan karya fable India (missal Kitab Kalilah
wa al-Dimnah karya pujangga India Bidpei). Sedangkan teladan moral dari
pahlawan dan raja-raja mereka ambil dari Persia, sebagaimana tercermin dari
karya Firdawsi, Shah namah (kisah para raja). Demikian juga dengan kata-kata
hikmah, mereka himpun dari berbagai hikmah para pujangga Persia, Arab, Yunani
dan India sebagaimana tercermin dalam karya Miskawayh, al-Hikmah al-Khalidah.
Para ilmuwan
Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif dalam karya-karya mereka. Dalam
hal matematika, para ahli matematika Muslim telah banyak belajar dari
matematika India. Misalnya al-Fazari (atau al-Khwarizmi dalam versi lain) telah
menterjemahkan karya matematika India Siddhanta al-Kubra ke dalam versi
bahasa Arab. Karya ini mendorong ahli-ahli matematika muslim untuk berkarya
lebih kreatif lagi sehingga banyak penemuan-penemuan penting di bidang
matematika ini mereka temukan. Misalnya Al-Khawarizmi sendiri, ia dakui sebagai
penemu angka nol atau sifr atau zero. Tentu ini merupakan sebuah revolusi
matematik yang besar, karena tidak dapat dibayangkan “matematika” tanpa angka
nol.
Demikian juga
para filosof Muslim (falasifa) telah dengan jelas memperlihatkan sikap inklusif
ini. Mereka telah menunjukkan sikap lapang dada dan konfiden yang luar biasa
terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak tampak sedikitpun
rasa minder dalam diri mereka. Menyikapi para pengritiknya yang lebih eksklusif
tentang sumber kebenaran, al-Kindi (w.866) dengan elegan mengatakan: “Kebenaran
dari manapun asalnya harus kita terima, karena tidak ada yang lebih dicintai
oleh pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.
Para sufi muslim
pun, di dalam memilih murid atau guru juga mengembangkan sikap inklusivisme.
Misalnya Jalal al-Din Rumi (w.1273)
seorang sufi dan penyair Persia terbesar memiliki murid Muslim, Yahudi,
Kristen dan bahkan Zoroaster. Mereka diperlakukan secara adil tanpa dipaksa
untuk melakukan konversi agama.Sikap inkluisif dalam memilih guru bisa dilihat
dari al-Farabi (w.950), seorang peripetik Muslim, yang dikenal sebagai guru
kedua setelah Aristoteles. Ketika al-Farabi datang ke Bagdad pada dasawarsa
ketiga abad kesembilan masehi, ia belajar logika dan filsafat dari guru logika
yang terkenal. Yohanna bin Haylan dan Bisyr Matta bin Yunus. Keduanya beragama
Kristen.
Humanisme
(Egalitarianisme). Yang dimaksud dengan humanisme
di sini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya,
tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit,
kedudukan, kekayaan atau bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam
humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama
derajatnya.
Sejarah
Kebudayaan Islam, menurut Mulyadhi, sarat dengan contoh-contoh sifat humanis
ini. Nabi kita sendiri pernah menyatakan dengan tegas, bahwa “tidak ada
kelebihan seorang Arab daripada non Arab”. Al Hujwiri, seorang penulis mistik
Islam, dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub menunjukkan sikap humanis Nabi
Muhammad saw. Dikatakan bahwa ketika seorang kepala suku datang menemuinya,
secara spontan Nabi Muhammad melepas dan menghamparkan jubahnya untuk duduk
sang kepala suku, (padahal ia tahu bahwa ia bukanlah seorang Muslim), seraya
berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Hormatilah setiap kepala suku, (apapun
agamanya)”. Ini adalah contoh yang jelas dari pandangan humanis seorang
Muhammad, yang memandang manusia, bukan karena keturunan maupun agamanya,
tetapi karena kemanusiannya.
Toleransi. Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh
di bawah ini: Para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah
menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia.
Ketika para penguasa Islam itu menaklukkan daerah-daerah tersebut, di sana
telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Namun
mereka tidak mengganggu kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang telah ada
sebelum Islam datang. Beberapa pusat ilmu di kota-kota Siria, seperti Antioch,
Harran dan Edessa, tetap berkembang ketika orang-orang menaklukkan Siria dan
Iraq. Di pusat-pusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para
sarjana Kristen tetap berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati
kebebasan berpikir yang diberikan oleh para penguasa Muslim.
Dari pusat-pusat
ilmu inilah justru umat Islam banyak belajar tentang ilmu-ilmu rasional seperti
ilmu matematika, astronomi, kedokteran dan juga ilmu-ilmu filsafat. Banyak
sarjana-sarjana Muslim yang belajar di pusat-pusat ilmu ini dengan
sarjana-sarjana Kristen. (Kadang murid-murid Muslim ternyata mengungguli
guru-guru Kristen mereka, seperti yang terjadi pada kasus al Farabi dan Ibn Sina). Selain itu, umat
Islam, terutama para penguasanya, bahkan telah menjadikan system pendidikan
mereka sebagai model. Dikatakan bahwa observatory astronomis dan rumah sakit
Baghdad, (dan bahkan menurut yang lain Bayt al Hikmah yang telah mulai
dirintis oleh Harun al-Rasyid dan didirikan oleh putranya al Ma’mun), dibangun dengan
mengikuti model Yundishapur, sebuah pusat ilmu pengetahuan terbesar Persia.
Selanjutnya,
komunitas non Muslim seperti Kristen, Yahudi dan bahkan Zoroaster dapat hidup
dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah
kekuasaan para penguasa Muslim. Di sebelah Barat kota Baghdad pada sekitar abad
kesepuluh terdapat 8 biara dan 6 gereja Kristen, sedangkan di sebelah timur
terdapat 3 biara dan 5 gereja. Demikian juga komunitas Yahudi di Baghdad
menikmati sikap toleran penguasa Muslim. Baghdad pada abad kedua belas terdapat
sekitar 40.000 orang Yahudi, 28 sinagog dan 10 akademi ilmu pengetahuan.
Demikian juga
keadaan orang-orang non Muslim yang hidup di Andalusia, terutama kota Kordoba,
saat dikuasai Penguasa Muslim, mereka
menikmati kebebasan beragama dan dapat hidup tenang dan bebas dalam menjalankan
ibadah dan aktivitas mereka sehari-hari.
Demokrasi.
(Kebebasan Berpikir) Menurut Abdolkarim Soroush, sebagaimana
dikutip Mulyadhi dari buku Soroush berjudul Reason, Fredom and Democracy in
Islam, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi
adalah kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain
harus ada kebebasan berpikir. Nah bagaimana kebebasan berpikir ini dilaksanakan
oleh masyarakat kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaannya, dapat
dilihat dari contoh-contoh di bawah ini.
Kebebasan untuk
menyampaikan kritik terhadap penguasa, dalam hal ini para perdana menteri
(wazir), dapat dengan gamblang dilihat dalam karya Abu Hayyan al-Tawhidi
mengkritik karakter dan bahkan administrasi dari dua wazir Buyid, Ibn Amid dan
Ibnu Sa’dan. Ibn Amid, misalnya, dikatakan terlalu “pelit” dalam menggaji
bawahannya, bahkan bawahan yang penting seperti Ibn Miskawayh (w.1010), seorang
filosof etik yang terkenal, hanya dibayar dengan gaji yang pas-pasan.
Kadang kritik
itu juga ditujukan oleh sarjana, terhadap orang-orang penting (tidak mesti
penguasa) yang punya pengaruh besar di masyarakat, karena menurut penilaiannya
orang-orang itu mempunyai cacat moral. Demikian juga dalam hal ilmiah kebebasan
berpikir juga mendapatkan peran, sehingga ilmuwan yang satu bebas mengkritik
ilmuwan yang lain. Dengan demikian ilmu pun akan terus berkembang. (lut).
Sumber:
Suara
Muhammadiyah
Edisi
04 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar