Oleh Teuku Kemal Fasya
MUNCULNYA beberapa figur dari jalur perseorangan dalam pilkada DKI Jakarta 2012 memberi tantangan serius bagi partai politik untuk selektif mengusung calon. Partai politik kini perlu berpikir dua kali untuk mengusung tokoh tidak populis. Akhirnya beberapa partai mencoba cara cepat, mengimpor figur dari kabupaten atau provinsi lain seperti Jokowi dan Alex Nurdin untuk merebut Jakarta nomor satu. Ini dilakukan barisan parpol agar tidak menerima kekalahan pertama di ibukota negara.Majunya Faisal Basri dalam Pilkada Jakarta dari jalur independen disambut positif pelbagai kalangan. Figur calon gubernur “non-partisan” dan kritis ternyata ikut menggairahkan para pemilih yang bosan dengan tokoh “minus”, baik dari segi kapasitas, kepemimpinan, visi, atau integritas. Pada Pilkada 2007, calon independen memang belum memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta.
Situasi ini berbeda dengan Aceh. Saat ini Aceh menghadapi situasi kurang kondusif bagi calon independen, karena sebagian besar yang maju adalah “sempalan” dari aktivis GAM - kemudian tergabung dalam Partai Aceh (PA). Mereka yang tidak dipinang partai lokal terbesar pemilu legislatif 2009 itu, sehingga mencari peluang melalui jalur independen. Namun pengurus PA melihat eksponen PA yang maju melalui jalur independen sebagai kader oportunis pengejar kekuasaan semata.
Terlepas dari kasus khusus Aceh, baiknya citra kandidat indepeden tidak lepas dari buruknya persepsi publik terhadap kinerja partai politik. Ini seperti balikan jam pasir, kemerosotan satu sisi menguntungkan sisi lain. Beberapa survey seperti Lembaga Survey Inodnesia, International Republican Institute, Indeks Demokrasi Indonesia menunjukkan parpol menduduki tiga besar lembaga terkorup. Mata air kinerja parpol dan parlemen amat keruh dan terus mengalir, dari Senayan hingga DPRD/K di seluruh Indonesia. Di sisi lain citra kandidat dari calon independen dianggap lebih menjanjikan kebersihan politik.
Dalam sebuah penelitian tentang demokrasi lokal di Aceh Besar, saya menanyakan kepada seorang anggota Dewan bagaimana mereka memandang orientasi dan fungsi lembaga legislatif. Menurutnya, secara normatif fungsi ideal lembaga legislatif adalah legislasi, pengawasan, dan anggaran yang harus diupayakan secara maksimal oleh semua anggota Dewan. Namun secara praksis, ia mengaku bahwa yang menyemesta adalah peran pengeruk proyek, pemburu fasilitas dan pencari kesalahan eksekutif. Tidak ada etika politik. Hanya ada etos berkonflik dan membangun rivalitas dengan kelompok politik berbeda sampai akhir. “Peusom salah, peulemah daleh.”
Citra buruk DPR/D/K tentu saja mewakili buruknya perilaku politik partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu legislatif. Sedemikian buruknya citra itu di mata publik, sehingga muncul anggapan bahwa parpol merupakan titik lemah pelembagaan demokrasi Indonesia saat ini. Hingga satu dekade reformasi, citra negatif parpol itu tidak kunjung tersembuhkan.
Konstitusi memang merancang sistem parlemen, partai politik, dan pemilu yang semakin baik, namun kualitas demokrasi tak bertambah baik. Saat musim pilkada tiba, parpol-parpol besar di daerah melakukan praktik rente dengan “menjual diri” kepada calon yang mau membayar mahal, jika partai tidak memiliki figur populis yang bisa memenangi pilkada.
Belajar dari pengalaman itu, pada 2007 seorang calon gubernur dari NTB melakukan judicial review UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyediakan kesempatan pilkada hanya dari usungan parpol. Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang mengugurkan pasal 56, 59 dan 60 UU No. 32/2004 kemudian memuluskan calon independen maju dalam pilkada, dengan didasarkan pengalaman Pilkada Aceh.
Keputusan MK itu kemudian dilegalisasi ke dalam UU No. 12/2008. Akhirnya calon independen memiliki legalitas dan bisa memenangi beberapa pilkada tingkat II, seperti Batu Bara (Sumatera Utara), Rote Ndau (NTT), Kubu Raya (Kalimantan Barat), Garut (Jawa Barat), dan Sidoarjo (Jawa Timur). Di seluruh Indonesia belum ada gubernur yang menang dari calon independen, kecuali Aceh.
Jaminan konstitusional tentang hak calon independen dalam pilkada merupakan fakta penting dalam demokrasi elektoral Indonesia yang tak mungkin lagi dipinggirkan. Meskipun faktanya calon independen belum cukup beruntung (kurang dari lima persen calon independen menang dalam pilkada), kesempatan calon independen akan memaksa parpol berpikir lebih keras untuk memperbaiki diri. Paling tidak kini, setiap warga yang maju dalam pilkada tidak perlu membayar “uang mahar” dan menghamba diri kepada parpol pengusung ketika nanti terpilih. Ini salah satu peluang memutus rantai oligarkhi dan politik patronase yang selama ini menahun.
Pernyataan bahwa calon independen akhirnya membuka model politik yang bersifat individual juga tidak benar. Bagaimanapun, proses memajukan diri sebagai calon independen telah mengalami pelembagaan sosial-politik dan memiliki konstruksi sosial juga. Tanpa proses pelembagaan maka tidak ada calon independen yang bisa memenangi pilkada di seluruh Indonesia.
Ia sudah harus menginstitusionalisasi visi dan keterlibatan publik dalam kegiatan politiknya sejak jauh hari dan memiliki modal cukup ketika momentum pilkada tiba. Ia tak bisa menjadi tokoh yang tiba-tiba hadir saat pilkada. Proses kontestasi ini memiliki legitimasi sama sahnya dengan parpol.
Calon independen juga kompetitor paling serius atas keberadaan institusi politik yang semakin oligarkhis dan “buruk muka” politik uang. Ke depan bahkan perlu dipikirkan peluang jalur independen dalam pemilu legislatif dan juga pemilihan presiden. Sebagai hak konstitusional sipil, ia tak boleh hanya disekat di dalam kamar-kamar partai politik yang sesak dan pengap.
Menyirnakan eksistensi parpol memang tidak mungkin dalam era demokrasi modern. Namun memaksakan “politik serba parpol” di tengah sakit menahunnya juga bukan sebuah solusi. Keberadaan calon independen boleh dianggap anastesi untuk kepentingan bedah tubuh parpol yang terserang kanker anti-partisipasi, nir-transparans, dan non-demokrasi, agar bisa pulih sebagai sediakala.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/
MUNCULNYA beberapa figur dari jalur perseorangan dalam pilkada DKI Jakarta 2012 memberi tantangan serius bagi partai politik untuk selektif mengusung calon. Partai politik kini perlu berpikir dua kali untuk mengusung tokoh tidak populis. Akhirnya beberapa partai mencoba cara cepat, mengimpor figur dari kabupaten atau provinsi lain seperti Jokowi dan Alex Nurdin untuk merebut Jakarta nomor satu. Ini dilakukan barisan parpol agar tidak menerima kekalahan pertama di ibukota negara.Majunya Faisal Basri dalam Pilkada Jakarta dari jalur independen disambut positif pelbagai kalangan. Figur calon gubernur “non-partisan” dan kritis ternyata ikut menggairahkan para pemilih yang bosan dengan tokoh “minus”, baik dari segi kapasitas, kepemimpinan, visi, atau integritas. Pada Pilkada 2007, calon independen memang belum memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta.
Situasi ini berbeda dengan Aceh. Saat ini Aceh menghadapi situasi kurang kondusif bagi calon independen, karena sebagian besar yang maju adalah “sempalan” dari aktivis GAM - kemudian tergabung dalam Partai Aceh (PA). Mereka yang tidak dipinang partai lokal terbesar pemilu legislatif 2009 itu, sehingga mencari peluang melalui jalur independen. Namun pengurus PA melihat eksponen PA yang maju melalui jalur independen sebagai kader oportunis pengejar kekuasaan semata.
Terlepas dari kasus khusus Aceh, baiknya citra kandidat indepeden tidak lepas dari buruknya persepsi publik terhadap kinerja partai politik. Ini seperti balikan jam pasir, kemerosotan satu sisi menguntungkan sisi lain. Beberapa survey seperti Lembaga Survey Inodnesia, International Republican Institute, Indeks Demokrasi Indonesia menunjukkan parpol menduduki tiga besar lembaga terkorup. Mata air kinerja parpol dan parlemen amat keruh dan terus mengalir, dari Senayan hingga DPRD/K di seluruh Indonesia. Di sisi lain citra kandidat dari calon independen dianggap lebih menjanjikan kebersihan politik.
Dalam sebuah penelitian tentang demokrasi lokal di Aceh Besar, saya menanyakan kepada seorang anggota Dewan bagaimana mereka memandang orientasi dan fungsi lembaga legislatif. Menurutnya, secara normatif fungsi ideal lembaga legislatif adalah legislasi, pengawasan, dan anggaran yang harus diupayakan secara maksimal oleh semua anggota Dewan. Namun secara praksis, ia mengaku bahwa yang menyemesta adalah peran pengeruk proyek, pemburu fasilitas dan pencari kesalahan eksekutif. Tidak ada etika politik. Hanya ada etos berkonflik dan membangun rivalitas dengan kelompok politik berbeda sampai akhir. “Peusom salah, peulemah daleh.”
Citra buruk DPR/D/K tentu saja mewakili buruknya perilaku politik partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu legislatif. Sedemikian buruknya citra itu di mata publik, sehingga muncul anggapan bahwa parpol merupakan titik lemah pelembagaan demokrasi Indonesia saat ini. Hingga satu dekade reformasi, citra negatif parpol itu tidak kunjung tersembuhkan.
Konstitusi memang merancang sistem parlemen, partai politik, dan pemilu yang semakin baik, namun kualitas demokrasi tak bertambah baik. Saat musim pilkada tiba, parpol-parpol besar di daerah melakukan praktik rente dengan “menjual diri” kepada calon yang mau membayar mahal, jika partai tidak memiliki figur populis yang bisa memenangi pilkada.
Belajar dari pengalaman itu, pada 2007 seorang calon gubernur dari NTB melakukan judicial review UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyediakan kesempatan pilkada hanya dari usungan parpol. Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang mengugurkan pasal 56, 59 dan 60 UU No. 32/2004 kemudian memuluskan calon independen maju dalam pilkada, dengan didasarkan pengalaman Pilkada Aceh.
Keputusan MK itu kemudian dilegalisasi ke dalam UU No. 12/2008. Akhirnya calon independen memiliki legalitas dan bisa memenangi beberapa pilkada tingkat II, seperti Batu Bara (Sumatera Utara), Rote Ndau (NTT), Kubu Raya (Kalimantan Barat), Garut (Jawa Barat), dan Sidoarjo (Jawa Timur). Di seluruh Indonesia belum ada gubernur yang menang dari calon independen, kecuali Aceh.
Jaminan konstitusional tentang hak calon independen dalam pilkada merupakan fakta penting dalam demokrasi elektoral Indonesia yang tak mungkin lagi dipinggirkan. Meskipun faktanya calon independen belum cukup beruntung (kurang dari lima persen calon independen menang dalam pilkada), kesempatan calon independen akan memaksa parpol berpikir lebih keras untuk memperbaiki diri. Paling tidak kini, setiap warga yang maju dalam pilkada tidak perlu membayar “uang mahar” dan menghamba diri kepada parpol pengusung ketika nanti terpilih. Ini salah satu peluang memutus rantai oligarkhi dan politik patronase yang selama ini menahun.
Pernyataan bahwa calon independen akhirnya membuka model politik yang bersifat individual juga tidak benar. Bagaimanapun, proses memajukan diri sebagai calon independen telah mengalami pelembagaan sosial-politik dan memiliki konstruksi sosial juga. Tanpa proses pelembagaan maka tidak ada calon independen yang bisa memenangi pilkada di seluruh Indonesia.
Ia sudah harus menginstitusionalisasi visi dan keterlibatan publik dalam kegiatan politiknya sejak jauh hari dan memiliki modal cukup ketika momentum pilkada tiba. Ia tak bisa menjadi tokoh yang tiba-tiba hadir saat pilkada. Proses kontestasi ini memiliki legitimasi sama sahnya dengan parpol.
Calon independen juga kompetitor paling serius atas keberadaan institusi politik yang semakin oligarkhis dan “buruk muka” politik uang. Ke depan bahkan perlu dipikirkan peluang jalur independen dalam pemilu legislatif dan juga pemilihan presiden. Sebagai hak konstitusional sipil, ia tak boleh hanya disekat di dalam kamar-kamar partai politik yang sesak dan pengap.
Menyirnakan eksistensi parpol memang tidak mungkin dalam era demokrasi modern. Namun memaksakan “politik serba parpol” di tengah sakit menahunnya juga bukan sebuah solusi. Keberadaan calon independen boleh dianggap anastesi untuk kepentingan bedah tubuh parpol yang terserang kanker anti-partisipasi, nir-transparans, dan non-demokrasi, agar bisa pulih sebagai sediakala.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar