Oleh Juanda *
Pendahuluan
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini
terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah
nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan,
dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Aksiologi berasal dari kata axios (bahasa
yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori / ilmu. Jadi, aksiologi
adalah “ teori tentang nilai” (Salam : 1997 : 168).
Istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai
dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of
value atau teori nilai. Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari
Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata
“logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu;
axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup
kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
social dan agama.
Kini, kita
bicarakan pengetahuan dari sudut pandang
lain agar kita dapat mendefenisikan nilai objektifnya dan sejauh mana ia dapat
mengungkapkan realitas (kebenaran).
Karena itu, pertama-tama kita harus
rnempertanyakan apakah jalan tersebut dapat benar-benar membawa
kepada tujuan, dan apakah manusia mampu menangkap realitas objektif
dengan pengetahuan dan kapasitas-kapasitas pikirannya.
Dalam hal ini, filsafat Marxisme percaya akan kemungkinan
mengetahui alam dan akan kemampuan
pikiran manusia untuk mengungkapkan realitas-realitas objektif.
ia menolak skeptisisme dan sofisme
(sophistry).
Idealisme
mengingkari kemungkinan mengetahui alam
dan hukum-hukumnya, tidak melihat nilai pengetahuan kita, yang tidak mengakui
adanya realitas objektif, menganggap
bahwa alam itu penuh dengan
benda-benda yang berdiri sendiri
dan bahwa ilmu selamanya tidak akan mengetahui alam tersebut.
materialisme filosofis Marxis berdiri di
atas prinsip yang mengatakan bahwa
adalah mungkin untuk benar-benar mengetahui alam dan hukum-hukumnya. Pengetahuan kita tentang
hukum-hukurn alam, yang merupakan pengetahuan yang dicapai melalui praktek dan pengalaman indera adalah
pengetahuan yang memiliki nilai dan menuNjukkan
realitas objektif..
Pandangan (Para Filosof) Yunani
Tokoh-tokoh ini mengingkari alam berdasarkan
ambiguitas-ambiguitas dan silogisme-silogisme tersebut dengan
menolak segala prinsip pemikiran
manusia dan proposisi-proposisi terinderai
dan intuitif.
Sofisme terus mengungkapkan dalarn berbagai
cara, untuk beberapa lama, ketak
peduliannya terhadap filsafat dan ilmu, sampai akhirnya muncullah Socrates, Plato dan Aristoteles yang
bersikap anti sekali terhadap sofisme. Aristoteles menggariskan logika
terkenalnya untuk menemukan kesalahan sofisme dan untuk mengorganisasikan
pikiran manusia.
Untuk beberapa abad padamlah api skeptisisme, sampai
pada abad ke 16 ketika ilmu-ilmu alam bangkit dan menemukan realitas-realitas
yang tak pernah dibayangkan sebelumnya terutama dalam bidang astionomi dan
tatanan umum alam semesta.
Rene Descartes (1596-1650)
Descartes mengecualikan satu kebenaran yang tidak
dapat diguncangkan badai skeptisisme, yaitu pikirannya, yang adalah realitas
aktual yang tidak dapat diragukan lagi. Artinya, berpikir adalah suatu
kebenaran yang pasti, bagaimanapun yaitu apakah persoalan pikiran manusia
merupakan persoalan penipuan dan penyesatan, atau persoalan pemahaman dan
pemastian. Realitas tersebut merupakan asas filsafat Descartes dan titik tolak
bagi keyakinan filosofis. Melalui realitas ini Descartes berusaha keluar dari
konsepsi menuju eksistensi. dan dari subjektivitas ke objektivitas. Bahkan, melalui realitas tersebut ia berusaha membuktikan subjek dan objek sekaligus. Ia lantas memulai
dengan dirinya sendiri, dan membuktikan eksistensi dirinya itu dengal realitas
tersebut dengan mengatakan, "Aku berpikir, maka aku ada
John Locke (1692- 1704)
Seperti telah kita ketahui, John Locke adalah tokoh
teori empirikal. Pendapatnya dalam teori pengetahuan adalah bahwa pengetahuan
itu terbagi sebagai berikut: (1). Pengetahuan Intiutif. (2). Pengetahuan
Reflektif, (3).Pengetahuan yang merupakan hasil dari pengetahuan emperikal atas
suatu objek yang sudah diketahui.
Locke yakin bahwa pengetahuan intuitif
adalah pengetahuan hakiki yang mempunyai nilai filosofis yang sempurna. Karena
itu, kesimpulan alaminya adalah skeptis mutlak terhadap nilai setiap
pengetahuan manusial sebab, pada esensi dan realitas dasarnya, pengetahuan itu hanyalah
persepsi inderawi yang didapat dengan pengalaman lahir atau batin. Sementara
itu John Locke memulai upaya pemikiran filosofisnya dengan menghindari
pikiran-pikiran fitri, dan percaya pada dominasi indera atas semua pengetahuan.
Kaum Idealis
Idealisme memainkan
peran pertamanya dalam tradisi filsafat ditangan Plato, yang mengemukakan teori
tertentu tentang akal dan pengetahuan manusia. Teori itu dikenal dengan nama teori bentuk-bentuk platonik” . Plato adalah seorang idealis. Tetapi idealis
plato tidak berarti menginderai realitas-realitas terinderai, tidak pula
berarti melepaskan pengetahuan emperikal dari realitas-realitas objektif yang
tidak bergantung pada wilayah konseps dan pengetahuan.
Dalam sejarah modern, idealisme mengambil arti yang
lain sama sekali dengan arti yang disebutkan di atas. Kalau idealisme Platonik
sangat menekankan realitas objektif pengetahuan rasional dan empirikal
sekaligus, maka idealisme dalam coraknya yang modern merupakan upaya untuk
mengguncangkan asas realitas objektif dan memproklamasikan doktrin baru tentang
teori pengetahuan manusia, yang melaluinya ia dapat menghapus nilai filosofis
pengetahuan. Paham idealis baru inilah yang kita pelajari dan kita coba
diskusikan dalam pembahasan ini. Paham itu memiliki beberapa corak dan bentuk.
Beberapa penulis buku-buku filsafat malah menganggap idealisme sebagai suatu
gambaran setiap filsafat yang bertopang pada skeptisisme, yang mengandung usaha
menjauhkan sisi objektif sesuatu dari kerangka pengetahuan manusia,
Idealisme
Filosofis
Pendiri idealisme filosofis adalah George Berkeley
(1085-1753) yang dianggap sebagai Bapak Idealisme Modern. Menurutnya manusia
tentu dapat keluar dari yang konseptual ke yang objektif dengan menggunakan pengetahuan
tashdiq berkat Idealisme filosofis dapat disimpulkan bahwa realisme berdasarkan
pada dua prinsip: (1) pengakuan pengungkapan
esensial pengetahuan tashdiq; {2)
pengakuan adanya prinsip dasar bagr
pengetahuan manusia yang kebenarannya
niscaya dijamin,
Pendukung Skeptisisme Modern
Skeptisisme modern ini yakin bahwa manusia tak dapat
memberikan penilaian apa pun atas segala sesuatu. Skeptisisme modern berkembang dalam
kondisi yang mirip dengan kondisi yang mengitari skeptisisme lama ini dan yang membantu
pertumbuhannya.
Skeptisisme modern bertumpu pada hal-hal yang menganalisis
pengetahuan yang mengarah kepada
skeptisisme, menurut klaim-klaim
pendukung-pendukungnya- David Hume, tokoh filsafat skeptisisme karena pengaruh filsafat Berkeley, berpendapat bahwa
kepastian tentang nilai objektif pengetabtran manusia merupakan masalah yang
tak terjangkau. Sarana
pengetahuan manusia adalah kognisi atau pikiran, dan tak sesuatu pun
yang dapat ada pada akal pikiran itu
selain pengetahuan.
Kaum Relativis
Relatifisme dianggap sebagai salah satu, doktrin
yang menyatakan adanya realitas dan kemungkinan pengetahuan manusia. Tapi
pengetahuan atau realitas ini, yang dapat diperoleh pikiran manusia, adalah
Pengetahuan nisbi dan realitas nisbi, dalam arti ia bukan realitas yang bebas dari
pengikatan subjektif atau realitas mutlak. Ia adalah gabungan sisi objektif
sesuatu dan sisi subjektif pikiran yang mengetahui. Karenanya realitas objektif
dalam pikiran tidak mungkin dipisahkan dari sisi subjektif, dan tidak bebas
dari tambahan tertentu darl luar.
Relativisme Kant
Pertama-tama harus diketahui bahwa penilaian rasional,
menurut Kant, ada dua: Pertama,
penilaian analitik. Yaitu
penilaian yang dipakai akal untuk menjelaskan saja,
seperti ucapan kita: "Benda padat itu memuai, dan segrtiga memiliki, tiga sisi.
Kedua, penilaian sintetik, yaitu suatu
penilaian yang predikatnya menambahkan sesuatu yang baru kepada subjek itu- Seperti
ucapan kita: "Benda-benda
itu berat, panas memuaikan
partikel-partikel jasadi dan 2 + 2 = 4".
Relativisme Subjektif
Setelah Kant, datanglah kaum relativis subjektif. Mereka adalah orang-orang yang yakin pada
watak relatif dalam setiap yang tampak
benar bagi manusia menurut peranan akal setiap
individu dalam mencari
kebenaran itu. Jadi, dalam konsep baru
ini, kebenaran hanyalah sesuatu yang
diniscayakan oleh kondisi-kondisi dan
situasi-situasi untuk mengetahui.
Behaviorisme
Behaviourisme
adalah salah satu aliran terkenal
dalam ilmu jiwa yang berorientasi materialistik. Ia disebut behaviorisme karena
menempatkan tingkah laku makhluk hidup dan gerak-gerik
jasmaniahnya, yang dapat ditundukkan kepada obsemasi ilmiah dan eksperimen, sebagai subjek ilmu jiwa.
Freud
Dokrin psikoanalisis
Freud merekam kesimpulan-kesimpulan yang sama dengan yang
diperoleh behaviourisme yang
berhubungan dengan teori pengetahuan.
Meskipun doktrin Freud tidak
mengingkari pikiran, tetapi ia membagi
pikiran menjadi dua
kelompok. Pertama, unsur-unsur sadar,
yaitu sekumpulan ide, emosi dan-keinginan yang kita rasakan didalam diri kita. Kedua,
unsur-unsur bawah sadar pikiran, yakni
selera dan instink yang tersembunyr di
balik kesadaran kita.
Materialisme Historis
Materialisme historis menghubungkan pengetahuan manusia secara umum dengan kondisi ekonomi, karena pengetahuan adalah
bagian dari struktur masyarakat yang semuanya bergantung pada faktor ekonomi. Karena itu, kita dapati ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia bukanlah lahir dad
aktivitas fungsional otak saja. Tetapi sebab
utamanya adalah keadaan ekonomi.
Analisa
dan Komentar
Permasalahan yang utama dalam aksiologi adalah mengenai
nilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan
estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif. Sedangkan estetika
berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Dihadapkan dengan masalah nilai moral dalam ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan
kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas
pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berdaskan
nilai-nilai moral. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas
ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada
siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan
aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk,
yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang
kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang paling
menakutkan.
Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai
adalah harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya,
dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah,
agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu
pengetahuan “melulu” pada kemudahan-kemudahan material duniawi. M. Saekhan
Muchith mencontohkan bahwa dari proses penurunan
ayat-ayat Al Quran tentang hukum lebih banyak diturunkan di Madinah yang
relatif sudah ada perkembangan peradabannya. Ini berarti mengandung makna bahwa
semakin tinggi tingkat perkembangan peradaban manusia harus segera diikuti
dengan aturan atau hukum yang bisa menjamin rasa keadilan masyarakat. Hal
tersebut menunjukkan bahwa solusi yang diberikan Al Quran terhadap ilmu
pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu
pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada
manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
* Mahasiswa Pascasarjana UPI Prodi PKn
Daftar Pustaka
Ash-Shadr, M.B. 1995. Falsafatuna, Bandung : Mizan
Salam,
Burhanuddin. 2003.Pengantar Filsafat, Jakarta:
Bina Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar