Oleh : Shodiq M. Hum
Multikulturalisme
Dilihat dari proses terjadinya, proses menjadi multikultural berbeda dengan akulturasi dan akomodasi. Akulturasi atau disebut juga asimilasi adalah konsep untuk merujuk roses di mana seseorang pendatang luar, imigran, aturan kelompok subordinate menjadi menyatu secara tak kentara lagi ke dalam masyarakat tuan rumah yang dominan. Sedangkan akomodasi adalah proses di mana subordinate group menyetujui harapan-harapan dari kelompok masyarakat dominan. Baik dalam asimilasi maupun akomodasi, keduanya mendasarkan pada asumsi adanya kelompok masyarakat yang lemah (subordinate group) dan kelompok masyarakat yang kuat (dominant group). Dalam multikulturalisme, asumsi tentang subordinate dan dominant
group tidak ada karena setiap kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk mengekspresikan diri, hidup berdampingan, dan bekerjasama dengan kelompok lain. Masyarakat multikulturalisme juga mungkin harus dibedakan dari konsep melting pot culture. Dalam melting pot, konsep dasarnya ialah adanya suatu kesatuan budaya baru yang terbentuk akibat pertemuan budaya dan suku yang ada. Melting pot culture perlu dibedakan dari masyarakat multikultural karena dalam melting pot culture, seolah-olah diasumsikan bahwa keragaman budaya yang ada tersebut dalam rentang waktu tertentu akan semakin menghilang. Multikulturalisme, paling kurang pada awalnya, tidak sama dengan sekadar pluralisme masyarakat. Plural societies pada awal penggunaannya merujuk pada masyarakat-masyarakat Negara berkembang pada sebelum dan awal zaman penjajahan dahulu, seperti Burma dan Indonesia, di mana di dalamnya hidup sejumlah masyarakat yang hidup berdasarkan kesamaan kelompok kesukuan dan mendiami wilayah tertentu serta memiliki sistem pembagian kerja sendiri-sendiri yang satu sama lain tidak saling memerlukan bahkan tidak saling berhubungan sehingga tidak ada keperluan membangun rasa kebangsaan. Sedangkan dalam masyarakat multikultural, konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama, tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan mengembangkan pluralisme masyarakat itu (multiculturalism celebrate culture variety). Dengan demikian, ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, yaitu: 1) adanya pluralisme masyarakat; 2) adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama; 3) adanya kebanggaan mengenai pluralisme itu. Multikultural dan Demokrasi
Adanya prinsip-prinsip kesamaan kesempatan mengekspresikan diri, hidup berdampingan, dan bekerjasama antarberbagai kelompok masyarakat membuat konsep masyarakat multikultural berdekatan dengan sejumlah konsep yang didengungkan oleh masyarakat demokrasi dan masyarakat sipil. Konsep-konsep yang berdekatan itu, atau bahkan menjadi landasan bagi penegakan masyarakat multikultural ialah demokrasi, hak asasi manusia, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan, kesederhanaan, penghargaan atas keyakinan, kesempatan berprestasi dan mobilitas sosial, penghindaran tindak kekerasan fisik, dan keyakinan rasa aman dengan identitas dan eksistensi. Dengan menyebut sejumlah konsep yang berdekatan itu, kita sudah dapat melihat bagaimana dekatnya konsep multikulturalisme masyarakat dengan upaya peningkatan kesempatan masyarakat memperoleh kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita mulia ini diperlukan niat baik dan upaya serius dari segenap komponen bangsa.
Secara konseptual, multikulturalisme sebenarnya relatif baru jika dibandingkan dengan konsep pluralis (plurality) maupun keragaman (diversity). Sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia kemudian di Amerikan Serinkkat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Selain itu, ketiganya memiliki perbedaan titik tekan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu”. Keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Sedangkan multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaan itu mereka adalah sama di dalam ruang publik sehingga dibutuhkan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memedulikan perbedaan agama, budaya, etnik, gender, maupun bahasa. Sikap semacam itu membutuhkan keterbukaan hati semua pihak. Tanpa sikap yang terbuka, masing-masing kelompok masyarakat akan membangun berlapis-lapis kecurigaan. Multikulturalisme merupakan pengikat dan jembatan yang mengakkomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedan–perbedaan kesukubangsaan dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan-perbedaan itu terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekkonomi, dan sosial.
Parsudi Suparlan, berpendapat bahwa landasan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk sudah saatnya dikaji kembali. Masyarakat multikultural adalah bentuk yang dirasa mampu menjawab tantangan perubahan zaman. Multikulturalisme, adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwudjudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehiduan dan masyarakat. Di sisi lain, munculnya konsep multikulturalisme juga sesuai dengan tuntutan era reformasi. Datangnya era reformasi telah membuka jalan bagi rakyak Indonesia untuk membetuntuk Indonesia Baru. Konsep Indonesia Baru pada hakikatnya adalah sebuah tatanan masyarakat sipil yang demokratis yang ditandai dengan berjalannya penegakan hukum untuk supremasi keadilan, terciptanya pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteratuarn sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat serta terwujudnya kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Sebagai strategi dari integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. Hal ini membawa implikasi dalam bersikap bahwa realitas sosial yang sangat majemuk tak akan menjadi kendala dalam membangun pola hubungan sosial antarindividu yang penuh toleransi. Bahkan, akan tumbuh sikap yang dapat menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Perlu ditegaskan bahwa multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan. Oleh karena itu, untuk menerapkan multikulturalisme agaknya menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Bisa diibaratkan, keanekaragaman budaya ini bagai bintang-bintang di langit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagat raya. Konsekuensinya, peranan Negara pada konteks ini hanya memfalitasi peran terciptanya toleransi antaretnis sosial budaya, dan bukan memainkan peran intervensi-represif yang dapat menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim Orde Baru. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralisme bangsa baik dalam etnis, agama, budaya maupun orientasi politik akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.
Menggagas pendidikan multikultural
Mengikuti konsep psikologi pendidikan, sesuatu yang paling banyak memengaruhi pribadi seseorang adalah orang atau lingkungan yang mempunyai makna baginya significant others/affective others).
Ingat sajak Dorothy Law Nolte:
Jika anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk menyalahkan
Jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi
Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk jadi pemalu
Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah
Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar untuk menjadi penyabar
Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar untuk percaya diri
Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk menghargai
Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar untuk bersikap adil
Jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar untuk memiliki keadilan
Jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk menyukai diri sendiri
Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukan
cinta di dunia
Pendidikan multikultural, perlu menegaskan paradigma interkoneksitas:
Learning to think
Lerning to do
Learning to be
Learning to live together
Visi pendidikan yang dibangun bukanlah ideologisasi, tetapi humanisasi-spiritualisasi.
- Paradigma pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk membangun cara pandang cara hidup. Oleh karena itu, paradigma multikulturalisme sebetulnya ingin menawarkan bahwa cara pandang kita sebagai umat dalam kehidupan berbangsa tidak lagi logosentris, terpusat, tetapi desenter.
- Dalam kehidupan umat sendiri ada beban baik beban teologis maupun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar