Oleh Hanif Sofyan
SISI menarik dari hingar bingar Pilkada adalah adalah ketika kita menyoroti perilaku para calon pemimpin kita. Ada calon yang was-was dan khawatir karena harus kehilangan jabatannya sebagai kepala institusi; Ada calon lain yang khawatir kehilangan jabatan pemimpin negeri karena khawatir tak bisa diraihnya lagi, sekalipun kans-nya tetap besar; Ada juga yang tak mau beringsut dari jabatan lamanya di institusi, dengan alasan calon lain ada yang tak mau mundur, dan; Ada juga yang maju dengan kepercayaan diri tanggung dan berharap pada keajaiban untuk menang.
Bacaan sehari-hari kita di
media adalah polah tingkah dan gaya para calon pemimpin kita masa depan
dalam mempertunjukkan kepribadian yang sesungguhnya dalam berpolitik
dan barangkali begitu juga kelak dalam memimpin Aceh. Banyak kekonyolan,
kemunafikan, perseteruan dengan substansi berbeda-beda yang tertangkap
media, sebagai berita “penelanjangan” kepribadian masing-masing calon
pemimpin Aceh masa depan. Termasuk, misalnya, perilaku tebar pesona yang
berlebihan dengan membawa gerbong institusi dan memainkan kesempatan
dari kocek institusi yang dipimpinnya. SISI menarik dari hingar bingar Pilkada adalah adalah ketika kita menyoroti perilaku para calon pemimpin kita. Ada calon yang was-was dan khawatir karena harus kehilangan jabatannya sebagai kepala institusi; Ada calon lain yang khawatir kehilangan jabatan pemimpin negeri karena khawatir tak bisa diraihnya lagi, sekalipun kans-nya tetap besar; Ada juga yang tak mau beringsut dari jabatan lamanya di institusi, dengan alasan calon lain ada yang tak mau mundur, dan; Ada juga yang maju dengan kepercayaan diri tanggung dan berharap pada keajaiban untuk menang.
Berbagai pelajaran menarik itu tak akan kentara jika tidak dalam proses pilkada. Di sinilah jurus-jurus tipu muslihat tengah dimainkan dengan cara “abu-abu” tapi menghanyutkan, yang sebenarnya teramat terang bagi kita bahwa para rakyat pemilik suara yang sedang diperebutkan. Belum lagi soal curi start dengan memanfaatkan segala momen, fasilitas dan kesempatan, baik dana maupun jabatan untuk kampanye, baik dalam acara duniawi semacam festival hingga acara sakral semacam doa bersama.
Ada lagi kisah para pemimpin agama yang berputar haluan ke dunia politik dengan asumsi: “Jika ingin melakukan perubahan maka kita harus masuk kedalamnya.” Mudah-mudahan ini menjadi satu pelajaran berharga bagaimana seorang ulama bermain “politik” dengan tetap menjaga marwah dan amanah sebagai penyambung lidah para Nabi.
Jika kelak realitas yang dipertontonkan berlawanan 180 derajat dengan harapan, itu artinya virus politik telah merambah jauh ke dalam relung siapa pun tidak pandang bulu, apakah itu seorang politikus tulen atau ulama sekalipun apalagi cuma politikus pemula yang mencoba-mencoba masuk dalam “rawa gambut” politik yang tenang di permukaan, namun dalam ketika kita menginjaknya dan susah keluar lagi dari jebakan lumpur penghisap itu.
Sebagai awam yang mencoba mengamati fenomena, kedalam sebuah bingkai realitas yang rasional kiranya teramat sulit untuk membayangkan rumitnya dunia politik yang oleh sebagian orang, para pelakunya, dijuluki dengan “manusia dengan lidah bercabang dua”. Yang memungkinkannya berbicara dalam dua bahasa dengan komposisi hati yang dua macam pula. Di satu sisi untuk bermanis-manis, di sisi lainnya untuk mengintimidasi, mengkambinghitamkan, memecah belah, membusukkan para pesaing yang menjadi lawan politiknya.
Kisah sebagai nubuah
Belajar dari filosofi banyak kisah para pemimpin terdahulu, mungkin dapat menggugah hati para calon pemimpin Aceh kita nantinya. Dalam sebuah kisah disebutkan, ketika seorang sahabat Nabi diutus menjadi seorang hakim, beliau justru menangis dan khawatir, karena sebuah alasan sederhana, takut tak mampu berlaku adil.
Begitupun dalam kisah yang lain, ketika Abu Bakar memimpin negeri, ketika tengah bekerja didatangi sanak keluarga untuk sebuah diskusi. Beliau menanyakan kepentingannya, apakah terkait soal negara atau pribadi, ketika dijawab hanya soal pribadi, maka segera dimatikannya lilin itu dengan alasan sederhana bahwa lilin itu adalah lilin yang dibeli dari uang negara dan yang sedang mereka bicarakan adalah urusan pribadi.
Di lain kisah yang lebih popular tentang Umar bin Khattab dan sebuah keluarga kecil ibu dengan dua orang anaknya yang kelaparan dan terpaksa memasak batu, yang menggugah hatinya sebagai pemimpin yang tidak memahami kondisi rakyatnya.
Apa hikmah yang dapat dipetik dari kisah itu? Sekalipun kita masih jauh dari nubuah kisah itu, karena kita bukan malaikat atau nabi, atau khalifah begitu biasanya orang berdalih, maka mendekati itu adalah sebuah kemungkinan yang sangat bersahaja namun juga agung.
Setidaknya pertarungan politik merupakan sebuah ajang pertarungan pemikiran yang mengedepankan kepentingan nanggroe dan rakyat, tidak selalu monoton pada perseteruan kekuasaan dan hegemoni yang selalu berwarna sama setiap kali perhelatan dilakukan. Ada perubahan mindset dalam memahami hakekat pilkada tidak sekedar pesta formalitas, sementara pemenang diam-diam telah mengatur sebuah skenario untuk selalu “tak terkalahkan”, masih lumayan jika “diniatkan” menangnya untuk perbaikan nasib baik orang banyak.
Sekolah pilkada
Pilkada Aceh yang tahapan puncaknya diputusakan pada 9 April 2012 mendatang, tentunya akan menjadi “kelas” penting dan pelajaran berharga bagi para calon pemimpin kita masa depan. Semuanya sah-sah saja dalam kelas bergengsi itu, semuanya masih punya peluang untuk lulus, meski berbeda dengan harapan banyak orang karena “uang” dan “kekuasaan”, masih menjadi kekuatan yang dominan mengatur suara rakyat sebagai “guru” pemberi nilai.
Bagaimana kelak, jika mereka berhadapan dengan realitas yang sama dan mereka dapat melakukan keduanya karena mereka memiliki otortitas dan wewenang, mereka akan melakukan pola yang sama dengan apa yang sedang mereka pertunjukkan sekarang. Konon lagi jika itu secara hukum di anggap boleh, maka dimulailah “drama’ penyimpangan nilai-nilai yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Ketika hal ini terjadi maka tertutuplah, mata, telinga, mulut dan matahatinya dari apa pun.
Dari semuanya, kita sebagai rakyat hanyalah berusaha memberi kesempatan dengan dua kemungkinan, berubah menjadi lebih baik bagi yang telah berlaku buruk maupun memberi kesempatan bagi yang belum untuk menguji ketahanannya terhadap “godaan” dan “tipuan” kekuasaan. Meskipun seringkali banyak orang tergelincir, ketika memasuki gelanggang politik, sekalipun kita tak bisa menyamaratakan karena tentu masih saja ada harapan yang sedikit dari pada tidak sama sekali untuk sebuah kebaikan.
Sebenarnya fragmen inilah yang sedang ditonton rakyat hari dalam sebuah kelas besar pilkada. Sebuah sekolah, “kawah candradimuka”, para calon pemimpin yang diharapkan kuat hati dan pikiran untuk kemaslahatan rakyat, sebagai konstituen yang memilih dan memberinya kesempatan dengan harapan yang sangat besar untuk sebuah kebaikan.
Meskipun realitas politik, uang dan kekuasan, dapat memainkan perannya untuk menang, mengabaikan semua harapan, setidaknya rakyat makin cerdas memahami seperti apa sebenarnya para calon pemimpin kita hari ini. Karena harapan kita tidaklah sesempit tata ruang kota yang indah, gedung yang elok, kota yang bersih, mall yang banyak dan ramai, parkir yang nyaman, pengelolaan lingkungan yang lestari, tetapi lebih dari itu pemimpin dengan kebijakan yang pro rakyat dan amanah adalah hal lain yang lebih diimpikan.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar